Label

Sabtu, 07 Januari 2012

Mbok Yem



  Oleh: A. Mustofa Bisri

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi. "Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."

"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah," tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu."

Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku menyambut teh panas yang disodorkan.

"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. "Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja."

"Enak saja!"

"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!"
***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?"

"Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar-- dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah... Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.
***
Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, "Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina," aku mencoba menyabarkan si penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."

"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi."

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***
Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan, "nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.

"Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?"

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. "Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."

"Ajaib!"
***

Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS --sekarang "diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. "Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. *** 

Kamis, 05 Januari 2012

Konvensi



Oleh: A. Mustofa Bisri

Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, kini --sejak seorang sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah-- martabatku meningkat. 
Aku kini dikenal sebagai "orang pintar" dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang. Tujuan para pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari mencarikan jodoh, "memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri, hingga menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan tujuan agar jadi.

Tuhan kalau mau memberi rezeki hamba-Nya memang banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah pantas disebut rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuberikan pembantuku, kini ke mana-mana aku naik mobil Kijang. Pergaulanku pun semakin luas.

Nah, di musim pemilihan kepala daerah atau pilkada saat ini, tentu saja aku ikut sibuk. Dari daerahku sendiri tidak kurang dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para pendukung atau tim sukses mereka juga datang untuk memperkuat. Mereka umumnya minta restu dan dukungan. Sebetulnya bosan juga mendengarkan bicara mereka yang hampir sama satu dengan yang lain. Semuanya pura-pura prihatin dengan kondisi daerah dan rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon lain. Padahal, rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal kepingin. Beberapa di antara mereka bahkan bahasa Indonesianya saja masih baikan aku. Tapi ada juga timbal-baliknya. Saat pulang, mereka tidak lupa meninggalkan amplop yang isinya lumayan.
***
Pagi itu dia datang ke rumah sendirian. Tanpa ajudan. Padahal, kata orang-orang, ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan atau stafnya. Pakaian safari --kata orang-orang, sejak pensiun dari dinas militer, dia tidak pernah memakai pakaian selain stelan safari-- yang dikenakannya tidak mampu menampil-besarkan tubuhnya yang kecil. Demikian pula kulitnya yang hitam kasar, tak dapat disembunyikan oleh warna bajunya yang cerah lembut. Bersemangat bila berbicara dan kelihatan malas bila mendengarkan orang lain. Mungkin karena aku justru termasuk orang yang agak malas bicara dan suka mendengar, maka dia tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang butut.

Dia cerita bahwa sebentar lagi masa jabatannya sebagai bupati akan habis. Tapi dia didorong-dorong --dia tidak menyebutkan siapa-siapa yang mendorong-dorongnya-- untuk maju mencalonkan lagi dalam pilkada mendatang. Sebetulnya dia merasa berat, tapi dia tidak mau mengecewakan mereka yang mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang terbelakang ini.

"Nawaitu saya cuma ingin melanjutkan pembangunan daerah ini hingga menjadi kabupaten yang makmur dan berwibawa," katanya berapi-api. "Saya sedih melihat kawan-kawan di pedesaan, meski saya sudah berbuat banyak selama ini, masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perjuangan saya demi rakyat daerah ini khususnya, belum selesai."

"Saya sudah menyusun rencana secara bertahap yang saya perkirakan dalam masa lima tahun ke depan, akan paripurna pengentasan kemiskinan di daerah ini. Saya tahu, untuk itu hambatannya tidak sedikit." Dia menyedot Dji Sam Soe-nya dalam-dalam dan melanjutkan dengan suara yang sengaja dilirihkan. "Njenengan tahu, orang-orang yang selama ini ada di sekeliling saya, yang resminya merupakan pembantu-pembantu saya, justru malah hanya mengganggu. Sering menjegal saya. Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri dengan mengatasnamakan saya. Lha akhirnya saya kan yang ketiban awu anget, terkena akibatnya. Sekarang ini beredar isu katanya bupati menyelewengkan dana ini-itu; bupati menyunati bantuan-bantuan untuk masyarakat; bupati membangun rumah seharga sekian miliar di kampung asalnya; dan isu-isu negatif lain. Ini semua sumbernya ya mereka itu."

"Namun itu semua tidak menyurutkan tekad saya untuk tetap maju demi rakyat daerah ini yang sangat saya cintai. Saya mohon restu dan dukungan Panjenengan. Saya berjanji dalam diri saya, kalau nanti saya terpilih lagi, akan saya sapu bersih sampah-sampah yang tak tahu diri itu dari lingkungan saya."

Dia menyebut beberapa nama yang selama ini memang aku kenal sebagai pembantu-pembantu dekatnya. Aku hanya mengangguk-angguk dan sesekali memperlihatkan ekspresi heran atau kagum. Sikap yang ternyata membuatnya semakin bersemangat.

"Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?" tanyaku untuk pantas-pantas saat dia sedang menghirup tehnya.

Buru-buru dia letakkan gelas tehnya dan berkata, "Alhamdulillah, saya sudah melakukan pendekatan kepada Pak Kiai Sahil. Bahkan beliau mengikhlaskan putranya, Gus Maghrur, untuk mendampingi saya sebagai cawabup."

Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat berpengaruh di daerah kami. Partai terbesar di sini tak bakalan mengambil keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh cerdik orang ini, pikirku.

"Kiai Sahil sudah memanggil pimpinan partai Anu dan dipertemukan dengan saya. Dan tanpa banyak perdebatan, disepakati saya sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya sebagai cawabup. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat yang sudah lama mendambakan pemimpin yang kuat ini dan mampu mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih layak."
***
Sesuai pembicaraan di telepon sebelumnya, malam itu sekda datang bersama istrinya. Sementara istrinya ngobrol dengan istriku, dia langsung menyampaikan maksud tujuannya.

"Langsung saja, Mbah; maksud kedatangan kami selain bersilaturahmi dan menengok kesehatan Simbah, kami ingin mohon restu. Terus terang kami kesulitan menolak kawan-kawan yang mendorong kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula memang selama periode kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu sendiri, tak ada kemajuan yang berarti. Saya yang selama ini mendampinginya setiap saat merasa prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup mata dan telinga bila melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya itu."

"Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah mengingatkan atau menegurnya bila melihat dia berbuat yang tidak semestinya?" tanyaku.

"Ya tidak sekali dua kali," sahutnya, "tapi tak pernah didengarkan. Mungkin dia pikir saya kan hanya bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia selalu mengatakan bahwa dialah bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan. Ya akhirnya saya diamkan saja. Pikir saya, dosa-dosanya sendiri."

"Tapi akibatnya kan bisa juga mengenai orang banyak?!"
"Lha, itulah, Mbah, yang membuat saya prihatin dan terus mengganggu nurani saya. Tapi ke depan hal ini tidak boleh berulang. Saya dan kawan-kawan sudah bertekad akan menghentikannya. Bila nanti saya terpilih, saya tidak akan biarkan praktek-praktek tidak benar seperti kemarin-kemarin itu terjadi. Saya akan memulai tradisi baru dalam pemerintahan daerah ini. Tradisi yang mengedepankan kejujuran dan tranparansi. Pemerintahan yang bersih. Kasihan rakyat yang sekian lamanya tidak mendapatkan haknya, karena kerakusan pemimpinnya. Saya tahu persis data-data potensi daerah ini yang sebenarnya tidak kalah dari daerah-daerah lain. Seandainya dikelola dengan baik, saya yakin daerah ini akan menjadi maju dan tidak mustahil bahkan paling maju di wilayah propinsi."

"Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?" Aku mengulang pertanyaanku kepada bosnya tempo hari.
"Ya, mayoritas pimpinan partai saya, Partai Polan, dan pengurus-pengurus anak cabangnya sudah setuju mencalonkan saya sebagai bupati dan Drs Rozak dari Partai Anu sebagai cawabupnya. Jadi nanti koalisi antara Partai Polan dan Partai Anu. Menurut hitungan di atas kertas suara kedua partai besar ini sudah lebih dari cukup."

"Lho, aku dengar Partai Anu sudah mencalonkan bos Sampeyan berpasangan dengan Gus Maghrur?" selaku.
"Ah, itu belum resmi, Mbah. Beberapa tokoh dari Partai Anu yang ketemu saya, justru menyatakan tidak setuju dengan pasangan itu. Pertama, karena mereka sudah mengenal betul bagaimana pribadi bos saya dan meragukan kemampuan Gus Maghfur. Itu kan akal-akalannya bos saya saja. Gus Maghfur hanya dimanfaatkan untuk meraup suara mereka yang fanatik kepada Kiai Sahil."
***
Konferensi Cabang Partai Anu yang digelar dalam suasana demam pilkada, meski sempat memanas, namun berakhir dengan mulus. Drs Rozak terpilih sebagai ketua baru dengan perolehan suara cukup meyakinkan, mengalahkan saingannya, Gus Maghrur.

Drs Rozak bergerak cepat. Setelah kelengkapan pengurus tersusun, langsung mengundang rapat pengurus lengkap. Di samping acara perkenalan, rapat pertama itu juga memutuskan: DPC akan mengadakan konvensi untuk penjaringan calon-calon bupati dan wakil bupati. Drs Rozak menyatakan dalam konferensi pers bahwa selama ini partainya belum secara resmi menetapkan calon dan inilah saatnya secara resmi partai pemenang pemilu kemarin ini membuka pendaftaran calon dari mana pun. Bisa dari tokoh independen, bisa dari partai lain. Ditambahkan oleh ketua baru ini, bahwa dia sudah berkonsultasi dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai dan diizinkan melakukan konvensi tidak dengan sistem paket. Artinya, masing-masing mendaftar sebagai calon bupati atau wakil bupati dan baru nantinya ditetapkan siapa berpasangan dengan siapa.

Tak lama setelah diumumkan, banyak tokoh yang mendaftar, baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati. Termasuk di antara mereka yang mendaftar sebagai cabup: bupati lama dan sekdanya. Menurut keterangan panitia konvensi, agar sesuai dengan prinsip demokrasi, calon-calon akan digodok, dipilih, dan ditetapkan melalui pertemuan antara pengurus cabang lengkap, pengurus-pengurus anak cabang, dan organisasi-organisasi underbow partai; dengan ketentuan partai hanya akan mencalonkan satu cabup dan satu cawabup.

Semua orang menunggu-nunggu hasil konvensi partai terbesar di kabupaten itu. Maklum Partai Anu merupakan partai yang diyakini menentukan. Apalagi sebelumnya sudah ramai dan simpang siur berita mengenai calon-calon dari partai ini. Orang-orang tak ingin terus menduga-duga apakah benar partai yang katanya menyesal dulu mendukung bupati yang sekarang akan mencalonkannya lagi berpasangan dengan Gus Maghrur, putra Kiai Sahil sesepuh partai. Dan apakah sekda yang konon dicalonkan oleh Partai Polan benar akan berpasangan dengan Drs Rozak yang kini menjadi ketua Partai Anu.

Singkat cerita, konvensi berjalan dengan mulus. Sesuai kesepakatan, calon bupati dipilih sendiri dan calon wakil bupati dipilih sendiri pula. Kemudian yang terpilih sebagai cabup dipasangkan dengan yang terpilih sebagai cawabup. Hasilnya sungguh mengejutkan banyak orang, terutama bupati lama dan sekdanya. Ternyata yang terpilih dan disepakati menjadi calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cabup dan Ir Sarjono, ketua Partai Polan sebagai cawabupnya.
***
"Itulah politik," kataku kepada istriku yang tampak bingung setelah mendengar ceritaku. "Untung aku tidak tergiur ketika ada yang menawariku --dan kamu ikut mendorong-dorongku-- untuk ikutan maju sebagai cawabup!" *** 

Rabu, 04 Januari 2012

Rizal dan Mbah Hambali


Oleh: A Mustofa Bisri

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum
Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?

"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi."

"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."

"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."

"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari.

"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."

"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.

"Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?"

"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.

"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."

Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."

Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".

"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."

Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.

"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."

"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu."

"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.

Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.

Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?"

"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?"

"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"

"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"

Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."

"Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"

"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir.

Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti. 
Rembang, 2004 

Selasa, 03 Januari 2012

Lukisan Kaligrafi


 Oleh: A. Mustofa Bisri

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi. 
 Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias.

Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa.

Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal "menggambar" tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya.

Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang  -meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa.
***

RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya, "Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?"

Ustadz Bachri tersenyum, "Itu rajah. Saya yang menulisnya sendiri."

"Rajah?"

"Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin."

"Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?" Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu.

"Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za'faran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah."

"Wah," kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, "sampeyan mesti melukis kaligrafi."

"Saya? Saya melukis kaligrafi?" katanya sambil tertawa spontan.

"Tidak. Saya serius ini," tukas tamunya, "sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. ("Ini apa pula maksudnya?" Ustadz Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!"

Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk.

Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas.

Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk "sanggar melukis".

Mungkin tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. "Ternyata sulit juga melukis itu," katanya suatu ketika dalam hati, "enakan menulis pakai kalam di atas kertas."

Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah "lukisan".

Ketika sang kurir menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah. "Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!" katanya.

Dia sama sekali tidak menyangka.
***

MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana "lukisan" tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak.

Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari "lukisan"-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. "Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?" pikirnya, "di mana gerangan lukisanku itu dipasang?"

Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya "Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar." Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya.

"Lha ini dia!" tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak orang, "Ini pelukisnya!" kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, "Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan." Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila!

"Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;" tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, "apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!"

Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, "Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!"

"Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran," kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang merah padam, "teruskanlah melukis dari dalam seperti ini."

("Melukis dari dalam? Apa pula ini?" pikirnya)

Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa?

Besoknya hampir semua media massa memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas kosong!

Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja.

Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan alifnya itu pula.

"Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!" teriaknya kesal.

"Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?" tanya anak sulungnya.

"Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?" tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya, "mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?"

Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.

"Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?"

Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah.

"Begini," katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian,

"terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang."

"Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus."

"Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?"

Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, "Ketika saya sudah siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja."

"Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?" sela si bungsu.

"Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu."

"Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya," tukas istrinya, "sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?"

"Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika difoto."

Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. * 

Senin, 02 Januari 2012

KH Abdul Wahab Hafidh


KH Abdul Wahab Hafidh, Kauman Rembang adalah guru Pendiri dan juga pengasuh PP.An-Nur Mojorejo ( KH.M.Nur Chozin Abdurrachman ).

Berikut sekilah biografi beliau.

KH.Abdul Wahab Chafidz

Suami dari bunda Masyrifah Muslih adalah merupakan pribadi yang tegar, disiplin, tegas dan serius dalam menempuh jalan, yang tangguh dalam hadapi kesulitan, serta bulat hatinya dalam memikul tanggungjawab menggantikan estafet kepemimpinan ayahandanya. Kegemarannya sowan pada guru-guru yang masih hidup beliau juga gemar menziarahi Rijalul Ghoib dari daerah sekitar Rembang sampai Madura, Bogor, Belitung, bahkan Mekkah, Madinah, dan Jordan.
Mbah Wahab bagi penulis merupakan figur sentral, karena memiliki sifat lembut, romantis pada istri dan anak-anaknya, pada murid-muridnya beliau jarang bicara sesuatu di luar masalah ilmu, bila mendengar Ta’limnya setiap pagi, suaranya yang lirih, lembut, namun membuat hati luluh lantak ingin menangis, nafsu bagai terpenjara dan hilang seketika.
Ada cerita menarik pada masa Pemilu dimana pada waktu itu Partai hanya ada tiga, yaitu P3, Golkar dan PDI. Kampanye partai berlangsung meriah, ketiga partai saling melontarkan yel-yelnya pada kawannya dan lawan partainya. Suatu ketika kawan dari partai P3 dituduh dan ditan gkap karena telah menghina dan melecehkan lawan partainya. Kemudian temannya sowan kepada mbah Wahab untuk menjelaskan dan mohon bantuan agar temannya bisa keluar dari tahanan polsek Rembang. Kemudian Mbah Wahab tanpa pikir-pikir lagi mendatangi polsek Rembang dan menjelaskan bahwa kata-kata “Assu”, arek Suroboyo sudah biasa gunakan kata-kata tersebut untuk kawan akrabnya, bukan karena menghina tapi karena akrabnya yang bisa jadi kata itu sebagai ekspresi senang karena kawannya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Akhirnya temannya bisa dibebaskan juga.
Nasihatnya yang paling melekat pada penulis adalah, “Bila kamu disakiti orang lain, jangan sekali-kali mendoakan jelek kepada orang tersebut, karena bila doamu tidak sampai maka doa tersebut akan kembali kepadamu, begitupun sebalikanya.” Nasihat tersebut dijalankan dengan penuh rasa berat hati karena harus menahan rasa marahnya yang tak kunjung padam. Sehingga penulis mendapatkan kehidupan yang lebih Barokah…Beliau wafat di RS Rembang, bulan Syawal tahun 2010 pada usia 69 tahun. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kemuliaan kepada beliau (Allahumma Yarham)..Amiin Ya Robbal ‘alamin..

GUS JAKFAR


Karya: A.Mustofa Bisri

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. 
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002 

Minggu, 01 Januari 2012

Bidadari itu Dibawa Jibril


Oleh: A. Mustofa Bisri

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?! 

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

***Rembang, Akhir Ramadan 1423