Label

Rabu, 09 Mei 2012

KH. Bisri Musthofa

KH. Bisri Musthofa, adalah guru Pendiri dan juga pengasuh PP.An-Nur Mojorejo ( KH.M.Nur Chozin Abdurrachman ).

Di bawah ini adalah sekilas biografi beliau.


KH. Bisri Musthofa


Mbah Bisri Musthofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah ini, dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Semula, oleh kedua orang tuanya, H. Zaenal Mustofa dan Chotijah, ia diberi nama Mashadi,ketiga saudaranya yang lain adalah, Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum, Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 , Ia mengganti nama dengan Bisri. Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa.

Riwayat Hidup
KH. Bisri Musthofa merupakan satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir ini selesai beliau tulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar. Masih banyak karya-karya lain yang dihasilkan KH. Bisri Musthofa, dan tidak hanya mencakup bidang tafsir saja tetapi juga bidang-bidang yang lain seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan lain-lain. Selain itu, KH. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai seorang orator atau ahli pidato. Beliau, menurut KH. Saifuddin Zuhri, mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit sehingga menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan (KH. Saifuddin Zuhri : 1983, 27).
KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan ibadha haji di kota suci Mekah. Beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri Musthofa ini, kecuali catatan KH. Bisri Musthofa yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya (KH. Bisri Musthofa: 1977, 1).
Di usianya yang keduapuluh, KH. Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yang bernama Kiai Cholil dari Kasingan (tetangga desa Pesawahan) dengan seorang gadis bernama Ma’rufah (saat itu usianya 10 tahun), yang tidak lain adalah puteri Kiai Cholil sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Cholil tidak memberikan izin kepada KH. Bisri Musthofa untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas yang waktu itu diasuh oleh K. Dimyati. Dari perkawinannya inilah, KH. Bisri Musthofa dianugerahi delapan anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Cholil (KH. Cholil Bisri) dan Musthofa (KH. Musthofa Bisri) merupakan dua putera KH. Bisri Musthofa yang saat ini paling dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan pesantren yang dimilikinya. KH. Bisri Musthofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977 (KH. Bisri Musthofa: 1977, 15).

Pendidikan
KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, beliau belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, KH. Bisri Musthofa tidak sampai selesai karena ketika hampir naik kelas dua beliau terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit disepanjang pelaksanaan ibadah haji (KH. Saifuddin Zuhri : 1983, 24).
Sepulang dari tanah suci, KH. Bisri Musthofa sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil (guru di pondok dan belakangan jadi mertua) dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda dan kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” sampai mendapatkan serifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), KH. Bisri Musthofa melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, KH. Bisri Musthofa belajar di pesantren Kasingan pimpinan Kiai Cholil (KH. Bisri Musthofa: 1977, 8-9).
Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan putrinya yang bernama Marfu’ah itu, KH. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, KH. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani KH. Bisri Musthofa bersifat non-formal. Beliau belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-guru beliau terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-guru beliau di Mekah adalah:
(1) Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepada beliau, KH.Bisri Musthofa belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf; 
(2) Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim; 
(3) Syeikh Ali Maliki. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah; 
(4) Sayid Amin. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Ibnu ‘Aqil; 
(5) Syeikh Hassan Massath. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; 
(6) Sayid Alwi. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; 
(7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami’ (KH. Bisri Musthofa: 1977, 18).
Dua tahun lebih KH. Bisri Musthofa menuntut ilmu di Mekah. KH. Bisri Musthofa pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya.
Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Kholil) meninggal dunia. Sejak itulah KH. Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
Dalam mengajar para santrinya, beliau melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya yaitu menggunakan sistem balah (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami’,Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imrithi, Nadham Maqshud, ‘Uqudil Juman, dan lain-lain.
Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula mengisi ceramah-ceramah (pengajian) keagamaan.
Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya sehingga beliau sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak,Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa tengah.
KH. Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah KH. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), KH. Muhammad Anshari (Surabaya), KH. Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), KH. Basrul Khafi, KH. Jauhar, Drs. Umar Faruq SH, Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta), Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan), H. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.

Karya-Karya
Jumlah tulisan-tulisan beliau yang ditinggalkan mencapai lebih kurang 54 buah judul, meliputi: tafsir,hadits, aqidah, fiqh,sejarah nabi, balaghah, nahwu, sharf, kisah-kisah, syi’iran, do’a, tuntunan modin, naskah sandiwara, khutbah-khutbah, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dicetak oleh beberapa perusahaan percetakan yang biasa mencetak buku-buku pelajaran santri atau kitab kuning, di antaranya percetakan Salim Nabhan Surabaya, Progressif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja Murah Pekalongan, Al-Ma’arif Bandung dan yang terbanyak dicetak oleh Percetakan Menara Kudus. Karyanya yang paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz (3 jilid), di samping kitab Sulamul Afham (4 jilid).
Karya-karya KH. Bisri Musthofa jika diklasifikasikan berdasarkan bidang keilmuan adalah sebagai berikut:
A. Bidang Tafsir
Selain tafsir al-Ibriz, KH. Bisri Musthofa juga menyusun kitab Tafisr Surat Yasin. Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan para santri serta para da’I di pedasaan. Termasuk karya beliau dalam bidang tafsir ini adalah kitab al-Iksier yang berarti “Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para santri yang sedang mempelajari ilmu tafsir.
B. Hadits
1. Sulamul Afham, terdiri atas 4 jidil, berupa terjamah dan penjelasan. Di dalamnya memuat hadits-hadits hukum syara’ secara lengkap dengan keterangan yang sederhana.
2. al-Azwad al-Musthofawiyah, berisi tafsiran Hadits Arba’in an-Nawaiy untuk para santri pada tingkatan
Tsanawiyah.
3. al-Mandhomatul Baiquny, berisi ilmu Musthalah al-Hadits yang berbentuk nadham yang diberi nama.
C. Aqidah
1. Rawihatul Aqwam
2. Durarul Bayan
Keduanya merupakan karya terjemahan kitab tauhid/aqidah yang dipelajari oleh para santri pada tingkat pemula (dasar) dan berisi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Karyanya di bidang aqidah ini terutama ditujukan untuk pendidikan tauhid bagi orang yang sedang belajar pad atingkat pemula.
D. Syari’ah
1. Sullamul Afham li Ma’rifati al-Adillatil Ahkam fi Bulughil Maram.
2. Qawa’id Bahiyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji.
3. Islam dan Shalat.
E. Akhlak/Tasawuf
1. Washaya al-Abaa’ lil Abna
2. Syi’ir Ngudi Susilo
3. Mitra Sejati
4. Qashidah al-Ta’liqatul Mufidah (syarah dari Qashidah al-Munfarijah karya Syeikh Yusuf al-Tauziri dari Tunisia) Pondok Pesantren
F. Ilmu Bahasa Arab
1. Jurumiyah
2. Nadham ‘Imrithi
3. Alfiyah ibn Malik
4. Nadham al-Maqshud.
5. Syarah Jauhar Maknun
G. Ilmu Mantiq/Logika
Tarjamah Sullamul Munawwaraq, memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu Mantiq atau logika. Isinya sangat sederhana tetapi sangat jelas dan praktis. Mudah dipahami, banyak contoh-contoh yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
H. Sejarah
1. An-Nibrasy
2. Tarikhul Anbiya
3. Tarikhul Awliya.
I. Bidang-bidang Lain
Buku tuntunan bagi para modin berjudul Imamuddien, bukunya Tiryaqul Aghyar merupakan terjemahan dari Qashidah
Burdatul Mukhtar. Kitab kumpulan do’a yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berjudul al-Haqibah (dua jilid). Buku kumpulan khutbah al-Idhamatul Jumu’iyyah (enam jilid), Islam dan Keluarga Berencana, buku cerita humor Kasykul (tiga jilid), Syi’ir-syi’ir, Naskah Sandiwara, Metode Berpidato, dan lain-lain.
Pemikiran
Tidak dapat dipungkiri, di dalam lingkungan kaum muslimin ada dua kecenderungan, yaitu kelompok tekstualskripturalistik dan kelompok rasional. Kelompok tekstualis selalu menjadikan ayat al-Qur’an dan Hadits apa adanya sebagai dasar argumen, berpikir, dan bersikap. Sementara kelompok rasionalis selalu memberikan interpretasi rasional terhadap teks-teks keagamaan berdasarkan kemampuan akalnya. KH. Bisri Musthofa tidak termasuk di antara kedua kelompok di atas. KH. Bisri Musthofa lebih cenderung berada di tengah-tengah antara tekstual-skripturalis dan rasionalis. Sebagaimana terlihat jelas dalam kitab tafsirnya, al-Ibruz, KH.Bisri Musthofa selalu memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.
Di bidang akhlak, KH. Bisri Musthofa termasuk orang yang sangat memprihatinkan kondisi kemorosotan moral generasi muda. Lewat karya-karyanya di bidang akhlak itulah KH. Bisri Musthofa menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada generasi muda. Dalam kitab berbahasa Jawa Washoya Abaa li al-Abna, misalnya, beliau memberikan tuntunan-tuntunan seperti sikap taat dan patuh kepada orangtua, kerapihan, kebersihan, kesehatan, hidup hemat, larangan menyiksa binatang, bercita-cita luhur dan nasihat-nasihat baik lainnya. Sementara dalam karya yang berbentuk syair Jawa, yaitu kitab Ngudi Susila dan Mitra Sejati, KH. Bisri Musthofa menekankan sikap humanisme, kemandirian, rajin menuntut ilmu dan lain-lain.
Sedangkan pemikiran KH. Bisri Musthofa dalam bidang fiqh terlihat dalam pemikirannya mengenai Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, manusia dalam berkeluarga diperbolehkan berikhtiar merencanakan masa depan keluarganya sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam pandangan KH. Bisri Musthofa, Keluarga Berencana diperbolehkan bila disertai dengan alasan yang pokok, yaitu untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan meningkatkan pendidikan sang anak.

Karir Politik dan Perjuangan
KH. Bisri Musthofa hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang.
Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang –ketua Masyumi pusat waktu itu adalah KH. Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo (Saifullah Ma’shum : 1994, 332). Masa-masa menjelang kemerdekaan, KH. Bisri Musthofa mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini beliau menyatakan : "tenaga saya hanya untuk partai NU… dan di samping itu menulis buku".
Pada zaman pemerintahan Soekarno, KH. Bisri Musthofa duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do’a waktu pelantikan (Saifullah Ma’shum :1994, 332).
Pada masa Orde Baru, KH. Bisri Musthofa pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada tahun 1977, ketika partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau menjadi anggota Majelis Syura PPP Pusat. Secara bersamaan, beliau juga duduk sebagai Syuriyah NU wilayah Jawa Tengah (Saifullah Ma’shum : 1994, 333). Menjelang Pemilu 1977, KH. Bisri Musthofa terdaftar sebagai calon nomor satu anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun sayang sekali, Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran KH. Bisri Musthofa. Beliau meninggal dunia seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977. Duduknya KH. Bisri Musthofa sebagai calon utama anggota DPR tersebut memang memberikan bobot tersendiri bagi perolehan suara PPP. Itulah sebabnya, wafatnya beliau dirasakan sebagai suatu musibah yang berat bagi warga PPP. (dari berbagai sumber)
Mbah Bisri, belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil, di pesantren ini, Mbah Bisri muda, menekuni ilmu-ilmu agama, terutama ilmu nahwu, dengan kitab Alfiah sebagai pegangan utamanya.. Selain di pesantren Kasingan, Mbah Bisri juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari dan untuk memperdalam ilmunya, Mbah Bisri juga mengaji di kota suci Makah tahun 1936, kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-maghribi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil Kasingan,selain sebagai guru, adalah juga sebagai mertua Mbah Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Ma’rufah. Setelah wafatnya Kiai Cholil, Mbah Bisri ikut aktif mengajar di pesantren milik mertuanya tersebut di Kasingan Rembang. Selanjutnya sewaktu pesantren Kasingan bubar, seiring pendudukan Jepang, Mbah Bisri meneruskan pesantren tersebut dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang yang kemudian diberi nama, pesantren Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sampai sekarang berkembang sangat pesat.

Sosok Demokratis, Sayang terhadap Putra-Putri, Santri dan Umat 

Mbah Bisri boleh dibilang sosok yang demokratis, sayang terhadap para putra-putrinya, santri dan umat. Dalam mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan kesuriteladanan. Saking cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal.

Mbah Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum. Beliau juga menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis. Sebagaimana pengakuan putra pertamanya, KH.Cholil Bisri (alm), bahwa abahnya tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus begini, dan harus begitu. Mbah Bisri tidak pernah memaksakan anaknya dalam hal pendidikan, misalnya, harus urut (teratur dalam jenjang pendidikan). Mbah Bisri juga tidak memaksakan dalam hal menentukan jodoh anak-anaknya. Ia hanya memberikan kriteria-kriteria, yaitu kriteria pasangan yang bisa diajak berjuang. Sikap demokratis dan tidak mau dipaksa, dan memaksa orang itu, bisa dilihat dari cerita, ketika Mbah Bisri muda, hendak dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho, Makam Agung Tuban. Ketika itu, bulan Sya’ban tahun 1934 M, Bisri muda diajak oleh KH Cholil, gurunya di Kasingan Rembang, untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas apa tujuan dan mengapa Mbah Bisri muda diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah KH. Chusain, KH Cholil berkata kepada Mbah Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?” Tentu saja Mbah Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.” KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.” Mbah Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian KH Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.” Akan tetapi, Mbah Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. KH Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang alim juga. Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Mbah Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu KH Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah (pertunangan) kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin. Tetapi KH Cholil sudah melakukan perundingan dengan KH Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri KH Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah. Tanggal 3 Syawal,beberapa hari sebelum kerawuhan KH Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Sdr. Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal.

Setelah sebulan lebih hidup diperantauan, ia kembali ke Rembang. Bisri muda langsung menghadap KH Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya terebut. Dijabatnya tangan KH Cholil, tetapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut KH Cholil. Walau Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan KH Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh KH Cholil sebagaimana biasanya. Tahun 1932 M, Bisri muda minta izin kepada KH Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi KH Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh KH Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri KH Murtadho. “Pengucilan” tersebut, sampai sekitar setahun lebih, dan berakhir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan KH Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri KH Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa KH Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya. Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Bisri dengan Ma’rufah binti KH Cholil. Pada waktu itu Bisri berusia 20 tahun dan Ma’rufah juga berusia 20 tahun. Setelah menjadi menantu KH Cholil, Bisri muda membantu mengajar di pesantren KH Cholil, pesantren dimana Bisri muda menemba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut, Mbah Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.

Produktif Menulis 

Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan diri untuk menulis, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja, ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan, lahir sebagai karya tulisnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, Tafsir Al-Ibriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3). Ahmad Shofwan (sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh Mbah Bisri, tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dsb. Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, Mbah Bisri mempunyai ‘falsafah’ yang menarik. Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar ,seperti biasanya, “tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.”. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling, saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..”katan Mbah Bisri..”... Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. (Gus Mus dalam Taqdim buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, LkiS, Jogja, 2005, hlm. xxi-xxii).

Agamawan Moderat 

Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa, adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma’ruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima. Mbah Bisri sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun Islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yakni amar ma’ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran Mbah Bisri tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan.

Menjadi Pejuang Gigih dan Macan Podium 

Darah pejuang agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda, Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa podium.

Dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

Di samping politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam (termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut.

Menjelang masa kampanye Pemilu 1977, yang kurang seminggu lagi, tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu ashar, Mbah Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT. Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru. Saat pemakaman Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut untuk dapat mencium pipi almaghfurlah, sebagai tanda cinta dan penghormatan. Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin, sekaligus bapak serta Singa Podium yang produktip menulis. Karya karyanya akan abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang Beliau. Amiin
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar