Label

Rabu, 21 September 2011

MENJAGA AKHLAK KEPADA ALLAH SWT.


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Mudah-mudahan Allah SWT yang Maha Mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu. Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga, keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan. Kedudukan di sisi Allah tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah SAW ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia akhlaknya.

Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita, sebanyak apapun harta kita, setinggi apapun kedudukan kita, jikalau akhlaknya rusak maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona pada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlak buruknya, pesona pun akan pudar.

Yakinlah bahwa Rasulullah saw. diutus kedunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini ditanyakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabat, "Mengapa engkau diutus ke dunia ini ya Rasul?" Rasul menjawab, "innama buitsu liutamimma makarimal akhlak", "Sesungguhnya aku diutus ke dunia hanyalah utnuk menyempurnakan akhlak."

Sayangnya kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekadar senyuman dan keramahan. Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, termasuk bagian akhlak kita kepada Allah.

Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar putih seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apapun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya, tidak ada sekutu lain selain Allah. Tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.

Bagaimanakah sifat orang munafik itu? tokoh sufi Imam Al Ghazali menuturkan ucapan Imam Hatim Al Ashom (tokoh sufi yg masyhur di Khurasan, wafat 237 H.) ketika mengupas perbedaan antara orang mukmin dengan orang munafik :

"Seorang mukmin senantiasa disibukkan dengan bertafakur, merenung, mengambil pelajaran dari aneka kejadian apapun di muka bumi ini, sementara orang munafik disibukkan dengan ketamakan dan angan-angan kosong terhadap dunia ini.

Seorang mukmin berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari siapa saja kecuali dari mengharap kepada Allah SWT.

Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa apapun yang mengancam dia ada dalam genggaman Allah, di lain pihak orang munafik justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzubillaah, yang tidak dia takuti malah Allah SWT.

Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara orang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya.

Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia berbuat kebajikan, sementara orang munafik tetap tertawa meskipun dia berbuat keburukan.

Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat kepada Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah.

Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak, sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.

Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin adalah upaya untuk memperbaiki, sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusak, naudzubillaah."

wahai ikhwan dan akhwat. Nampak demikian jauh beda akhlak antara seorang mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan di atas. Kita harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa yang menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapa pun yang punya jabatan di dunia ini hanyalah sekedar makhluk yang hidup sebentar dan bakal mati, seperti halnya kita juga. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan, sebab itu cuma tempelan sebentar saja, yang kalau tidak hati-hati justru itulah yang akan menghinakan dirinya.

alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Selasa, 13 September 2011

PESAN ROSULULLAH KEPADA PUTRINYA, FATHIMAH RODLIYALLAHU 'ANHAA



Bismillaahirrohmaanirrohiim

Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumah Sayyidah Fathimah ra. Ketika itu, Fathimah sudah berbaring untuk tidur. Rasulullah saw lalu berkata, "Wahai Fathimah, lâ tanâmi. Janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal; mengkhatam Al-Quran, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum mukminin dan mukminat senang dan rida kepadamu, serta melakukan haji dan umrah."

Fathimah bertanya, "Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?"

Rasulullah saw menjawab, "Sebelum tidur, bacalah oleh kamu Qulhuwallâhu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatam Al-Quran." Yang dimaksud dengan Qul huwallâhu ahad adalah seluruh surat Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, seringkali suatu surat disebut dengan ayat pertamanya. Misalnya surat Al-Insyirah yang sering disebut dengan surat Alam nasyrah.

Rasulullah saw melanjutkan ucapannya, "Kemudian supaya engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, bacalah shalawat:
Allâhumma shalli `alâ Muhammad wa `alâ âli Muhammad, kamâ shalayta `alâ Ibrâhim wa `alâ âli Ibrâhim. Allâhumma bârik `alâ Muhammad wa `alâ âli Muhammad, kamâ bârakta `alâ Ibrâhim wa `alâ âli Ibrâhim fil `âlamina innaka hamîdun majîd."

Kemudian supaya kamu memperoleh rasa rida dari kaum mukminin dan mukminat, supaya kamu disenangi oleh mereka, dan supaya kamu juga rida kepada mereka, bacalah istighfar bagi dirimu, orang tuamu, dan seluruh kaum mukminin dan mukminat."

Tidak disebutkan dalam hadis itu istighfar seperti apa yang harus dibaca. Yang jelas, dalam istighfar itu kita mohonkan ampunan bagi orang-orang lain selain diri kita sendiri. 

Untuk apa kita memohon ampunan bagi orang lain? Agar kita tidur dengan membawa hati yang bersih, tidak membawa kebencian atau kejengkelan kepada sesama kaum muslimin. Kita mohonkan ampunan kepada Allah untuk semua orang yang pernah berbuat salah terhadap kita. Hal itu tentu saja tidak mudah. Sulit bagi kita untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti hati kita. Bila kita tidur dengan menyimpan dendam, tanpa memaafkan orang lain, kita akan tidur dengan membawa penyakit hati. Bahkan mungkin kita tak akan bisa tidur. Sekalipun kita tidur, tidur kita akan memberikan mimpi buruk bagi kita. Penyakit hati itu akan tumbuh dan berkembang ketika kita tidur. Dari penyakit hati itulah lahir penyakit-penyakit jiwa dan penyakit-penyakit fisik. 

Orang yang stress harus membiasakan diri memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang membuatnya stress sebelum ia beranjak tidur.

Dalam hadis itu tidak dicontohkan istighfar macam apa yang harus kita baca. Tapi ada satu istighfar yang telah dicontohkan oleh para ulama' setelah mereka selesai melaksanakan sholat, mereka membaca: 
"Astaghfirullâhal azhîm lî wa lî wâlidayya wa lî ashâbil huqûqi wajibâti `alayya wal masyâikhina wal ikhwâninâ wa li jamî'il muslimîna wal muslimât wal mukminîna wal mukminât, al ahyâiminhum wal amwât.
Ya Allah, aku mohonkan ampunan pada-Mu bagi diriku dan kedua orang tuaku, bagi semua keluarga yang menjadi kewajiban bagiku untuk mengurus mereka. Ampuni juga guru-guru kami, saudara-saudara kami, muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat."

Bila kita amalkan istighfar itu sebelum tidur, paling tidak kita telah meminta ampun untuk orang tua kita. Istighfar kita, insya Allah, akan membuat orang tua kita di senang kepada kita. Istighfar itu pun akan menghibur mereka dalam perjalanan hidup mereka. Manfaat paling besar dari membaca istighfar adalah menentramkan tidur kita.

Nasihat terakhir dari Rasulullah saw kepada Fathimah adalah, "Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah." Bagaimana caranya? Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang membaca "subhânallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha ilallâh huwallâhu akbar" ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah."

Menurut Rasulullah saw. barangsiapa yang membaca wirid itu lalu tertidur pulas, kemudian dia bangun kembali, Allah menghitung waktu tidurnya sebagai waktu berzikir sehingga orang itu dianggap sebagai orang yang berzikir terus menerus. Tidurnya bukanlah tidur ghaflah, tidur kelalaian, tapi tidur dalam keadaan berzikir. Sebetulnya, bila sebelum tidur kita membaca zikir, tubuh kita akan tertidur tapi ruh kita akan terus berzikir. Sekiranya orang itu terbangun di tengah tidurnya, niscaya dari mulut orang itu akan keluar zikir asma Allah.

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Senin, 05 September 2011

TAWADLU'


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Futuh Al Ghaib mengatakan bahwa Tawadlu' adalah perasaan rendah hati seseorang.

Ketika engkau melihat orang lain, engkau mungkin bergumam, `Barang kali dia lebih baik dan lebih tinggi posisinya daripada aku di sisi Allah.'
Ketika engkau melihat yang lebih muda, engkau berujar, 'Dia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku telah bergelimang dosa. Dia lebih baik daripada aku.'
Bila bertemu dengan orang yang lebih tua, engkau berkata, Inilah hamba Allah yang lebih dahulu hidup di dunia ini sehingga lebih banyak ibadahnya dariku.'
Bila bertemu dengan orang berilmu, engkau berucap, ‘Orang ini mendapat anugerah yang tidak kudapat. Dia memperoleh apa yang tidak kuperoleh. Dia berilmu, sementara aku bodoh. Dia pun mengamalkan ilmunya.'
Jika bertemu dengan orang bodoh, engkau berkomentar, Dia bermaksiat kepada Allah karena tidak tahu, maka ampunan baginya. Sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu bahwa itu maksiat. Aku tidak tahu bagaimana hidupku berakhir dan tidak tahu pula bagaimana hidupnya berakhir.'

Jika seorang hamba telah seperti itu, dan semua itu keluar dari hatinya yang bening dan bersih (tidak dibuat-buat), maka dia akan selamat dari siksa Allah karena sifat tawadlu'nya. ^_^

Syarh dari pentahkik.

Saudaraku, Allah memerintahkanmu untuk tawadhuk. Lihatlah dalilnya bertebaran.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang – orang mukmin yang mengikutimu; (QS Asysu’ara : 215)

Barangsiapa yang bersikap tawadlu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi (HR. Al-Baihaqi)

Dari Iyadl bin Himar ra. Berkata Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku yaitu kamu sekalian hendaklah bersikap tawadlu’ (merendahkan diri) sehingga tidak ada seseorang bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang lain. (HR. Muslim).

Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata, “Mengapakah Nabi Muhammad saw., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah.; Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.

Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak Penutup para Nabi, Muhammad saw. Karena itulah, Allah SWT memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan: “As-Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu (“Keselamatan bagimu, wahai Nabi!);.
Allah SWT tidak mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad;. Tidak!! Melainkan, “Keselamatan bagimu, Wahai Nabi!; Dan kita kini mengulangi salam dari Allah SWT. Bagi Nabi saw., tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita,  saat kita melakukan tasyahhud.

Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendah hatiannya. Karena itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah habis dan berserah diri kepada Allah SWT.,

Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena  kita membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan, bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain sebagainya. Karena itulah, setiap orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad saw.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau kita menjadi wakil sang penutup para Nabi, bukan sebagai wakil-wakilnya setan yang menyesatkan, yang kesananya akan menjerumuskan kita kedalam azabnya Allah SWT dalam neraka-Nya. Maka, untuk menjadi orang yang mewakili sang penutup para Nabi, kita harus memiliki akhlak seperti beliau, yang salah satunya adalah tawadlu’ (rendah hati). Karena sifat ini telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau supaya orang-orang tidak bersikap sombong kepada yang lain.

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Kamis, 01 September 2011

WAHAI PENCARI TUHAN JANGAN KAU RISAUKAN SEDIKITNYA AMALMU...!!!!!!!!!!


Oleh: Ustadz Ishak

Pengantar :
Tulisan ini sebenarnya jawabanku, atas pertanyaan seorang rekan di multiply. Mengenai ma’rifat dan ketidakmampuan ma'rifat menghantarkan seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah) kepada Allah. Materi ini terlalu panjang kalau ditulis di comment, dan kurang berelasi dengan malah inti tulisanku, di mana rekanku bertanya. Karena itu sengaja aku membuat tulisan ini secara khusus.

Walaupun demikian, tak ada salahnya dibaca. Walaupun pembaca bukan pelaku, dan tidak merasakan pahit getir dan sulitnya orang yang menempuh perjalanan menuju Allah (pesuluk / salik), namun paling tidak dapat tulisan ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan.

Peringatan :
Pada bagian judul sudah jelas bahwa secara spesifik saya menujukan tulisan ini bagi orang-orang yang sedang melakukan pencarian kepada Allah (salik) yang penuh harapnya kepada Allah. Tulisan ini, bukan  bagi golongan lain atau golongan yang masih “awam” kepada Allah. Mengapa demikian ?

Ketika orang awam membaca kalimat, “Jangan Kau Risaukan Sedikitnya Amalmu...”. Maka mereka justru akan diam dan semakin sedikitlah amal kebaikan dan ketaatan mereka. Adapun para salik biasanya mereka akan terus beramal taat, merindukan dan berharap untuk dapat sampai kepada Allah apapun yang terjadi.

Bagi para salik, tingkatan kesempurnaan ketaatan ibadah mereka kepada Allah hanya dibatasi oleh keterbatasan kemampuan fisik manusiawi mereka. Dalam hal ini, Kalaupun mereka menginginkan dengan sangat untuk bersembah dan bersujud kepada Allah tak terhitung jam dan malam, mereka dipaksa untuk berhadapan dengan rasa capek dan kebutuhan untuk tidur. Itulah yang saya maksud dengan kemampuan fisik mereka membatasi kesempurnaan ketaatan ibadah mereka.

Kerinduan para salik kepada Allah biasanya begitu membuncah menggebu-gebu dan menggelisahkan, tak tertahankan. Tetapi kekurangan-kekurangan dan ketidaksempurnaan manusiawi mereka dalam melakukan ketaatan dan beribadah, atau keterbatasan mereka dalam memakrifati Allah,  biasanya mereka “anggap” sebagai batu penghalang. Padahal tidaklah demikian halnya.

Mengapa demikian halnya ? Paling tidak inilah 4 alasan yang dapat dikemukakan.

Ya Allah, lindungi pikiranku dan jariku yang kupakai untuk mengetik dan dari setan. Dengan namamu ya Allah (semoga aku tak termasuk yang membocorkan ilmu rahasia-Mu.....)


1. Amal Mereka Membuat Allah Ridha

Bagi para salik, mereka lakukan amal ibadah agar Allah melihat ketaatan mereka, kemudian meridai mereka. Keridaan itu akan menghasilkan anugerah dan kasih sayang Allah berupa ampunan terhadap kekurangan-kekurangan sang salik dalam melakukan ketaatan dan ibadah mereka. Selain itu keridaan Allah kepada mereka akan membuat Allah melipat gandakan anugerah-Nya bagi sang salik.

Sungguh amal-amalan tak akan mampu menghantarkan seseorang kepada Allah. Yang dapat menghantarkan adalah kasih sayang dan keridaan Allah kepadanya, berdasarkan amal ketaatan yang dilakukannya.

Masih teringat jelas dalam ingatan bahwa ada seorang yang beribadah secara intensif dan terus menerus kepada Allah selama 300 tahun. Selama itu pula ia berpuasa. Ketika ia meninggal, Allah berkata malaikat, “Malaikat, masukan dia ke surga karena Rahmat-Ku.” Orang itu protes, “Karena amalku ya Allah.” Allah kemudian mengulangi perkataannya, “Malaikat, masukan dia ke surga karena Rahmat-Ku.” Orang itu protes lagi, “Karena amalku ya Allah.” Kemudian Allah berkata, “Baiklah jika kau memaksa, wahai malaikat, timbanglah seluruh amalnya.” Setelah ditimbang oleh malaikat, ternyata ibadah intensif dan puasanya selama 300 tahun ternyata hanya mampu membayar kenikmatan dia diberi sebelah mata oleh Allah. Berkatalah Allah, “Malaikat, masukkan dia ke neraka, karena dia mengingkari rahmat-Ku”. Barulah orang itu sadar, bahwa kasih sayang Allah-lah yang menghantarkannya ke surga, bukan amalnya. Kemudian ia berkata, “Wahai Allah, ampuni Aku. Sungguh kasih sayangmu kepadaku lebih besar dari ibadah ketaatan yang kulakukan untuk-Mu.” Orang itu baru menyadari bahwa makrifatnya adalah pemberian Allah. Tenaga yang dipakainya untuk beribadah berasal dari Allah. Keinginan untuk bertaat juga berasal dari Allah, dan Allah juga telah menghilangkan seluruh perintang-perintang ketaatannya dan melindunginya dari setan. Lantas dapatkah seorang hamba meng-klaim ibadahnya sebagai hasil usahanya, jika seluruh bahan pembentuk ibadah itu seluruhnya berasal dari Allah juga ? Sungguh seluruh buah yang dihasilkan adalah milik Sang Penanam, walaupun secara dzahir, pohonlah yang melahirkannya.

Bukankah engkau sudah tahu bahwa ma’rifat itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepadamu. Lalu apakah amalan-amalan yang kau lakukan itu adalah hadiah yang engkau berikan kepada-Nya darimu ? Di manakah letak kesetaran antara hadiah yang engkau berikan kepada-Nya dengan anugerah yang diberikannya kepadamu ?

Atau...

Bagaimanakah mungkin engkau meminta upah berupa surga atas ibadah yang kau lakukan kepada Allah, sedangkan Allah sama sekali tidak membutuhkan ibadahmu. Banyaknya ibadahmu tak memberikan manfaat sama sekali kepada Allah. Seluruh ibadahmu adalah untuk kepentinganmu, bukan untuk kepentingan Allah. Kalaupun kau tak beribadah, Allah tak kan pernah bergeming dari arsy-Nya.

Demikian pula, bagaimanakah engkau akan meminta upah “terhindar dari neraka” atas pencegahan terhadap dosa yang kau lakukan, sedangkan kekafiranmu tidak menyebabkan kemadhorotan / kerugian terhadap Allah ?

Bila engkau sangat memerlukan kemegahan dan keindahan yang ada dalam batu intan permata sedangkan uang di kantongmu hanya Rp. 500. Sungguh engkau tidak akan dapat membeli permata itu seharga 500, kecuali atas kemurahan, kasih sayang dan persahabatanmu dengan pemilik permata.

Andaikan ketaatanmu tak sempurna. Banyak cela di sana dan disini. Sehingga dengannya engkau malu untuk meminta surga, atau, sehingga dengannya engkau malu untuk meminta kepada Allah agar terhindar dari neraka, maka bertawakallah kepada kemahapenyayangan, kemahapegasihan, kemahapemaafan Allah kepada umatnya dan berharaplah kebaikan-kebaikan yang dihasilkan dari persahabatanmu dengan-Nya dan banyaknya pertemuan wajah (muwajahah) dengan-Nya.

Syaikh Ibn Athoillah mengatakan, siapa yang menyangka bahwa ia dapat sampai kepada Allah dengan perantaraan sesuatu selain Allah (dalam hal ini ibadahnya), pasti akan putus karenanya. Dan siapa saja yang menyandarkan ibadahnya kepada (kekuatan) dirinya sendiri, maka ia tidak akan dapat mencapai bagian-bagian yang hanya diperuntukkan Allah bagi hamba-Nya yang menyandarkan ibadahnya kepada ketakwaan (akan pemberian kasih sayang dan anugerah  Allah).


2. Allah Menyayangi Mereka Dengan Bala’ (bencana / petaka / cobaan)

Beraneka warna amal perbuatan, karena bermacam-macam pula kurnia Allah yang diberikan kepada hambanya. Jika amal-amal ketaatan si hamba belum cukup untuk menghantarkannya kepada keridaan Allah, maka Allah akan menurunkan bala’ (petaka) untuknya.

Diriwayatkan bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada seorang nabi, “Aku telah menurunkan bala’ (ujian) kepada seorang hamba, maka sang hamba berdoa,  dan tetap Aku tunda permintaannya. Akhirnya sang hamba mengeluh. Maka Aku berkata kepadanya : Hambaku, bagaimana aku akan melepaskan dari mu bala’ku, sedangkan di dalam bala’ku terkandung rahmat-Ku yang dapat melejitkan engkau kepada-Ku, di mana kekuatan bala’ itu untuk memberikan lejitan, tidak akan bisa dicapai dengan ketaatan dan ibadahmu.


3. Bagi hamba yang mengetahui bahwa Tuhannya maha pengampun, kemudian mereka memohon ampun, maka Allah Mengampuni Mereka

Sebenarnya sempurnalah kasih sayang Allah kepada umatnya. Ketika DIA mengetahui kekurangan-kekurangan dan keterbatasan si hamba dalam melakukan ketaatan, maka DIA menyediakan jalan-jalan lain bagi si hamba untuk bertemu dengan-Nya. Salah satunya adalah dengan mengampuni semua kekurangan-kekurangan (ketidaksempurnaan) dalam ibadah taat sang hamba.


4. Allah menarik mereka yang dicintai-Nya, untuk menuju kepada-Nya.

Orang-orang shalih yang menuju kepada Allah telah mendapatkan hidayah dengan cahaya yang merupakan amalan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Sedangkan orang-orang yang telah sampai, mereka ditarik oleh oleh nur (cahaya) yang langsung dari Allah, bukan hasil dari ibadah, tapi semata-mata karunia rahmat Allah.  (Syaikh Ibn Athoillah)

Dengan demikian, orang-orang shalih menuju ke alam nur, sedangkan yang telah sampai di alam nur, mereka berkecimpung di dalam nur. Sebab orang yang telah sampai itu telah bersih dari segala sesuatu selain Allah.

Jika kelemahan fisikmu, kerapuhan tulangmu dan kelembutan kulitmu tak mampu menghantarmu untuk berziarah sampai kepada Allah, maka bermohonlah agar DIA sudi menjemputmu dan menarikmu ke haribaan-Nya.

Kesimpulan :

Memakrifati zat yang tak terbatas dan tak terdefinisikan akan menyebabkan ilmu makrifat kepada Allah juga tak bertepi. Jangan hiraukan engkau ada di mana. Teruslah maju. Ini bukanlah terminal akhirmu......

Bila Allah telah membukakan jalan ma’rifat kepadamu, janganlah engkau hiraukan lagi sedikitnya amalanmu. Sebab Dia tidak akan menyingkapkannya kepadamu, kecuali Dia hanya berkehendak untuk memperlihatkan anugerahnya kepadamu. (Syaikh Ibn Athoillah)

Di antara tanda-tanda keberhasilan dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah adalah kembali bertawakal kepada Allah pada awal mula perjalanannya (bidayah). Dan barang siapa tercerahkan pada permulaannya, maka akan tercerahkan pula akhirnya (nihayah).

Keberhasilan seseorang di awal perjalanannya kepada Allah akan hadir, manakala ia bertawakal kepada Allah, bukan pada amalan yang dilakukan oleh dirinya.

Apa-apa yang tersembunyi dalam rahasia ghaib yang berupa nur Ilahi dan makrifat, pasti akan tampak bekas pengaruhnya pada anggota lahir. Barang siapa adab kesopanan lahirnya baik, maka itu menjadi bukti adanya adab di dalam batin.

Ya Allah saksikanlah bahwa aku tak menyembunyikan atau menjual ilmu yang berasal dari-Mu. Ya Allah, telah kusampaikan. Ya Allah, Engkau menjadi saksi.