Label

Jumat, 29 Juli 2011

KHILAFAH DI MATA Dr. Nadirsyah Hosen (Dosen Islamic Law di Univ. of Wollongong, Australia)


1. Wajibkah mendirikan khilafah?

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah" dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.

Masalah kepemimpinan ini simple saja: “ Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin”. Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut "khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman?

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka:

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan 'Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (Musnad Ahmad:IV/273) .

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas.

Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb.Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:
"setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja."

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?

Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.

Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur :-)

Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek"

dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!". Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang,"demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!". Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya.Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda.

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna" maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku ttg khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, di
bunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yg turun karena masa jabatannya sudah habis.

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna sih :-)]. Dalam tradisi barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan" dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya. Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.

Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yg sudah ketinggalan kereta.

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh "pejuang khilafah" belakangan ini:
Rasulullah SAW bersabda:
"Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim)

Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat
(sila dikoreksi kalau keliru):

1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
3. Buyids (945-1055)
4. Fatimiyah (909-1171)
5. Saljuk (1055-1194)
6. Ayyubid (1169-1260)
7. Mamluks (1250-1517)
8. Ottoman (1280-1922)
9. Safavid (1501-1722)
10. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairodibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga :-)

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya.. .silahkan diteruskan sendiri.
Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?
Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, spt yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yg datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil" makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional- state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah dimana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yg jelas, maka para ulama berdebat, spt direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yg dibutuhkan utk membai'at seorang khalifah? Ada yg bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja utk membai'at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Disamping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang.Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara AlGore dengan Bush 4 th lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka. Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yg menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yg menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda, Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan spt yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tsb?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini "rekaman" kejadiannya:
Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk , sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami' milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki masjid Jami', maka ia dijamin keamananya." Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita....

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim. astaghfirullah...

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.


Note:
Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafa'ur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah spt yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution" maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja ^_^

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya , dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI}, padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? jawabannya benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.
Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya.

Di saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dg penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apa lagi letak keberatan anda thd ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dlm berurusan dengan non-muslim:

1. ajak mereka masuk Islam
2. kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
3. kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.
Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, makaSingapore, Thailand, Philipine dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):
Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum'at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.
Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidakdisangka-sangka berikut ini.
"Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting – bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam."
"Hisyam!" Saya mencela. "Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusahauntuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!"
Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. "Ya," dia berkata, "Ya, itu benar."
Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka -berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brzail, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.
Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.
Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya utk memeluk Islam dg cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dg ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini: www.foia.cia. gov/2020/ 2020.pdf
Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020 :-)
Possible Futures
In this era of great flux, we see several ways in which major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on how trends interweave and play out:
Davos World " illustrating "how robust economic growth, led by China and India, … could reshape the globalization process";
Pax Americana " "how US predominance may survive the radical changes to the global political landscape and serve to fashion a new and inclusive global order";
A New Caliphate" "how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system"; and
Cycle of Fear" proliferation of weaponry and terrorism "to the point that large-scale intrusive security measures are taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world."
(The quotes are from the report's executive summary.)
Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range of other scenarios.
Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soalIndonesia lho. Ini prediksi mereka:
"The economies of other developing countries, such as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia's economy could also approach the economies of individual European countries by 2020."
Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika (menurut laporan tsb):
"Although the challenges ahead will be daunting, the United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the broad range of issues --economic, technological, political,and military-- that no other state will match by 2020."

Jadi, dari skenario fiktif yg mereka susun, Amerika tetap saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu...kok bisa-bisanya kawan-kawan pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)? Kita tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.

Tentang Penulis :

Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD adalah orang Indonesia pertama yang diangkat sebagai dosen pada fakultas hukum diAustralia. Pada tahun 2005 ia bekerja sebagai post-doctoral Research Fellow di TC. Beirne School of Law, Universitas Queensland, dimana ia mengajar mata kuliah "Comparative anti-terrorism law and policy" pada program master hukum.[1] Awal tahun 2007, Nadirsyah Hosen diangkat menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum, Universitas Wollongong. Ia mengasuh mata kuliah "Islamic Law" dan "Foundations of Law".[2]
Ia lulusan dari Fakultas Syari'ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia lalu meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies, dan Master of Arts with Honours dari Universitas New England. Kemudian ia meraih gelar Master of Laws dari Universitas Northern Territory.
Peraih dua gelar doktor (PhD in Law dari Universitas Wollongong dan PhD in Islamic law dari National University of Singapore) ini telah melahirkan sejumlah artikel di jurnal internasional seperti Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law (University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University), Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal of Islamic Studies (University of Oxford), and Journal of Southeast Asian Studies (Universitas Cambridge).
Disamping itu, Nadirsyah Hosen adalah seorang kiai dari organisasi Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Sejak tahun 2005, ia dipercaya sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru.
Beberapa tulisan dan kolomnya tersebar di media massa Indonesia seperti Gatra[3], Media Indonesia, The Jakarta Post dan Jawa Pos. Kumpulan artikel keislamannya bisa dibaca di Isnet.[4]
Pada bulan September 2007 Nadirsyah Hosen meluncurkan bukunya, Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia, yang diterbitkan oleh ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), Singapore, 2007.[5]

Referensi
  1. ^ Blog Nadir Hosen
  2. ^ Nadirsyah Hosen di situs Universitas Wolonggong
  3. ^ Sutiyoso dan Pengadilan Koroner. Gatra, 7 Juni 2007
  4. ^ Kumpulan artikel elektronik Nadirsyah Hosen
  5. ^ Rais Syuriah PCINU Australia Luncurkan Buku Berbahasa Inggris

Rabu, 13 Juli 2011

TIDAK PERLU ADA KHILAFAH DI INDONESIA


Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (cet. 2001 hal. 204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.

Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.

Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad ( cet. 1988 hal. 147), menyatakan, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.

Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.

Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkanmudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, cet. 1988 hal. 148)

Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:

Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.

Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari masalah aqidahmelainkan termasuk persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.

Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.

Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan. Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman pemerintah, sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.

Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.

Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.

Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, cet. 1988 hal. 147).

Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, cet. 1998 hal. 348).

KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: ”NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.

Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak memiliki akar syara’, malahan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi.

Bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.

Jumat, 01 Juli 2011

KESELARASAN NILAI-NILAI PANCASILA DENGAN AJARAN ISLAM


Dewasa ini banyak kalangan yang membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan kondisi bangsa saat ini. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.

Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya. Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.

Tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi. Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara).

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa pihak mungkin masih dirasa ambigu, apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri negara ini.
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution, 1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945. Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998:  62).

Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).

Menurut Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.

Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme, serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.

Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalahkesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.

1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.

2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.

3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini.

1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT.  Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.

2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah ayat 8.

3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara.  Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.

5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.

Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.

Dengan demikian sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu masa ketika PANCASILA BERTASBIH.